BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Dasar
1. Definisi
Tuberculosis (TB) adalah penyakit infeksius, yang terutama menyerang
parenkim paru (Smeltzer, 2001).
Tuberkulosis (TB) paru adalah penyakit menular yang
disebabkan oleh basil Mycobacterium tuberculosis (Alsagaff, 2005 : 73).
Tuberkulosis (TB) paru adalah penyakit infeksi yang menyerang parenkim paru
yang disebabkan oleh Mycobacterium Tuberculosis (Somantri, 2008 : 59).
2. Etiologi
Tuberculosis disebabkan oleh kuman Mycobacterium Tuberculosis. Kuman ini berbentuk batang mempunyai sifat tahan asam pada perwarnaan. Oleh karena itu, disebut sebagai basil tahan asam (Somantri, 2008 : 59).
3. Patofisiologi
Pada waktu
batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet
(percikan dahak). Droplet yang mengandung Mycobakterium tuberkulosis dapat
menetap dalam udara bebas selama 1-2 jam. Orang dapat terifeksi kalau droplet
tersebut terhirup ke dalam saluran pernapasan. Setelah Mycobacterium
tuberkulosis masuk ke dalam saluran pernapasan, masuk ke alveoli, tempat dimana
mereka berkumpul dan mulai memperbanyak diri. Basil juga secara sistemik
melalui sistem limfe dan aliran darah ke bagian tubuh lainnya (ginjal, tulang,
korteks serebri), dan area paru-paru lainnya (lobus atas).
Sistem
imun tubuh berespons dengan melakukan reaksi inflamasi. Fagosit (neutrofil dan
makrofag) menelan banyak bakteri; limfosit melisis (menghancurkan) basil dan
jaringan normal. Reaksi jaringan ini mengakibatkan penumpukan eksudat dalam
alveoli, menyebabkan bronkopneumonia. lnfeksi awal biasanya terjadi 2 sampai 10
minggu setelah pemajanan.
Massa jaringan baru,
yang disebut granulomas, yang merupakan gumpalan basil yang masih hidup dan
yang sudah mati, dikelilingi
oleh makrofag yang membentuk dinding protektif. Granulomas diubah menjadi massa
jaringan fibrosa. Bagian sentral dari massa fibrosa ini disebut tuberkel
Ghon. Bahan (bakteri dan makrofag) menjadi nekrotik, membentuk massa
seperti keju. Massa ini dapat mengalami kalsifikasi, membentuk skar kolagenosa.
Bakteri menjadi dorman, tanpa perkembangan penyakit aktif.
Setelah
pemajanan dan infeksi awal, individu dapat mengalami penyakit aktif karena
gangguan atau respons yang inadekuat dari respons sistem imun. Penyakit aktif
dapat juga terjadi dengan infeksi ulang dan aktivasi bakteri dorman. Dalam
kasus ini, tuberkel Ghon memecah, melepaskan bahan seperti keju ke dalam
bronki. Bakteri kemudian menjadi tersebar di udara, mengakibatkan penyebaran
penyakit lebih jauh. Tuberkel yang memecah menyembuh, membentuk jaringan parut.
Paru yang terinfeksi menjadi lebih membengkak, mengakibatkan terjadinya bronkopneumonia lebih
lanjut, pembentukan tuberkel dan selanjutnya.
Kecuali proses tersebut dapat
dihentikan, penyebarannya dengan lambat mengarah ke bawah ke hilum paru-paru
dan kemudian meluas ke lobus yang berdekatan. Proses mungkin berkepanjangan dan
ditandai oleh remisi lama ketika penyakit dihentikan, hanya supaya diikuti
dengan periode aktivitas yang diperbaharui. Hanya sekitar 10% individu yang
awalnya terinfeksi mengalami penyakit aktif (Brunner dan Suddarth, 2002).
|
|||||
- Manifestasi Klinis
Menurut Jhon
Crofton (2002) gejala klinis yang timbul pada pasien Tuberculosis berdasarkan adanya keluhan penderita adalah :
a. Batuk lebih dari 3 minggu
Batuk adalah reflek paru untuk mengeluarkan sekret dan
hasil proses destruksi paru. Mengingat Tuberculosis Paru adalah penyakit menahun, keluhan ini dirasakan dengan kecenderungan
progresif walau agak lambat. Batuk pada Tuberculosis
paru dapat kering pada permulaan penyakit, karena sekret masih sedikit, tapi kemudian menjadi produktif.
b. Dahak
(sputum)
Dahak awalnya bersifat mukoid dan keluar dalam
jumlah sedikit, kemudian berubah menjadi mukopurulen atau kuning, sampai
purulen (kuning hijau) dan menjadi kental bila sudah terjadi pengejuan.
Batuk Darah
Batuk darah yang terdapat dalam
sputum dapat berupa titik darah sampai berupa sejumlah besar darah yang keluar
pada waktu batuk. Penyebabnya adalah akibat peradangan pada pembuluh darah paru dan bronchus
sehingga pecahnya pembuluh darah.
2.1.4.4 Sesak Napas
Sesak
napas berkaitan dengan penyakit yang luas di dalam paru. Merupakan proses
lanjut akibat retraksi dan obstruksi saluran pernapasan.
2.1.4.5
Nyeri dada
Rasa
nyeri dada pada waktu mengambil napas dimana terjadi gesekan pada dinding
pleura dan paru. Rasa nyeri berkaitan dengan pleuritis dan tegangan otot pada
saat batuk.
2.1.4.6
Wheezing
Wheezing terjadi karena
penyempitan lumen bronkus yang disebabkan oleh sekret, peradangan jaringan
granulasi dan ulserasi.
2.1.4.7
Demam dan Menggigil
Peningkatan
suhu tubuh pada saat malam, terjadi sebagai suatu reaksi umum dari proses
infeksi.
2.1.4.8
Penurunan Berat Badan
Penurunan
berat badan merupakan manisfestasi toksemia yang timbul belakangan dan lebih
sering dikeluhkan bila proses progresif.
2.1.4.9
Rasa lelah dan lemah
Gejala ini disebabkan oleh kurang tidur akibat batuk.
2.1.4.10 Berkeringat Banyak Terutama Malam Hari
Keringat
malam bukanlah gejala yang patogenesis untuk penyakit Tuberculosis paru.
Keringat malam umumnya baru timbul bila proses telah lanjut.
2.1.5 Komplikasi
Menurut Depkes RI (2002), merupakan komplikasi yang dapat
terjadi pada penderita tuberculosis paru stadium lanjut yaitu :
2.1.5.1 Hemoptisis berat (perdarahan dari saluran napas bawah) yang dapat
mengakibatkan kematian karena syok hipovolemik atau karena tersumbatnya jalan
napas.
2.1.5.2 Atelektasis
(paru mengembang kurang sempurna) atau kolaps dari lobus akibat retraksi bronchial.
2 1.5.3 Bronkiektasis
(pelebaran broncus setempat) dan fibrosis (pembentukan jaringan ikat pada
proses pemulihan atau reaktif) pada paru.
2.1.5.4 Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak,
tulang, persendian, dan ginjal.
2.1.6 Pemeriksaan penunjang
2.1.6.1 Pemeriksaan
Laboratorium
2.1.6.1.1 Kultur Sputum : Positif
untuk Mycobacterium tuberculosis pada tahap
aktif penyakit
2.1.6.1.2 Ziehl-Neelsen (pemakaian asam cepat pada gelas kaca
untuk usapan cairan darah) : Positif untuk basil asam-cepat.
2.1.6.1.3
Tes
kulit (Mantoux, potongan Vollmer) : Reaksi positif (area indurasi 10 mm atau
lebih besar, terjadi 48-72 jam setelah injeksi intradcrmal antigen) menunjukkan infeksi
masa lalu dan adanya antibodi tetapi tidak secara berarti menunjukkan penyakit
aktif. Reaksi bermakna pada pasien yang
secara klinik sakit berani bahwa TB aktif tidak dapat diturunkan atau
infeksi disebabkan oleh mikobakterium yang
berbeda.
2.1.6.1.4 Histologi
atau kultur jaringan (termasuk pembersihan gaster; urine dan
cairan serebrospinal, biopsi kulit) : Positif untuk Mycobacterium tuberculosis.
2.1.6.1.5
Biopsi jarum pada jaringan paru : Positif untuk granuloma
TB; adanya sel raksasa menunjukkan nekrosis.
2.1.6.1.6 Elektrolit : Dapat tak
normal tergantung pada lokasi dan beratnya infeksi;
contoh hiponatremia disebabkan oleh tak normalnya retensi air dapat ditemukan pada TB paru kronis luas.
2.1.6.1.7
Pemeriksaan fungsi paru : Penurunan kapasitas vital, peningkatan rasio udara residu dan kapasitas
paru total, dan penurunan saturasi oksigen sekunder terhadap infiltrasi
parenkim/fibrosis, kehilangan jaringan paru dan penyakit pleural (Tuberkulosis
paru kronis luas).
2.1.6.2 Pemeriksaan Radiologis
2.1.6.2.1
Foto
thorak : Dapat menunjukkan infiltrasi lesi awal pada area paru atas, simpanan kalsium lesi sembuh primer, atau
effusi cairan. Perubahan menunjukkan lebih luas TB dapat termasuk rongga, area fibrosa.
2.1.7 Penatalaksanaan Medis (DepKes RI, 2002 : 37)
2.1.7.1 Jenis
dan Dosis Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
2.1.7.1.1 Isoniazid
(H)
Dikenal dengan INH, bersifat bakterisid,
dapat membunuh 90 % populasi kuman dalam beberapa hari pertama pengobatan.
Sangat efektif terhadap kuman dalam keadaan metabolik aktif yaitu kuman yang
sedang berkembang. Dosis harian 5 mg/kg berat badan, sedangkan untuk pengobatan
intermiten 3 kali seminggu diberikan dengan dosis 10 mg/kg berat badan.
2.1.7.1.2 Rifampisin
(R)
Bersifat bakterisid,
membunuh kuman semi dormant yang tidak dapat dibunuh oleh isoniasid. Dosis 10
mg/kg berat badan. Dosis sama untuk pengobatan harian maupun intermiten 3 kali
seminggu.
2.1.7.1.3 Pirazinamid
(Z)
Bersifat bakterisid, membunuh kuman yang berada dalam sel dengan suasana
asam. Dosis harian 25 mg/kg berat badan, sedangkan untuk pengobatan intermiten
3 kali seminggu diberikan dengan dosis 35 mg/kg berat badan.
2.1.7.1.4 Streptomisin
(S)
Bersifat bakterisid,
dosis 15 mg/kg berat badan, sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali
seminggu digunakan dosis yang sama.
2.1.7.1.5 Etambutol
(E)
Bersifat menghambat
pertumbuhan bakteri (bakteriostatik). Dosis harian 15 mg/kg berat badan,
sedangkan untuk intermiten 3 kali seminggu diberikan dengan 30 mg/kg berat
badan.
2.1.7.2 Tahap Pengobatan
Pengobatan Tuberculosis
diberikan dalam 2 tahap yaitu:
2.1.7.2.1 Tahap
Intensif
Penderita mendapat obat setiap
hari. Pengawasan berat/ketat untuk mencegah terjadinya kekebalan terhadap semua
Obat Anti Tuberculosis (OAT).
2.1.7.2.2 Tahap
Lanjutan
Penderita mendapat jenis obat
lebih sedikit dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk
membunuh kuman persistem (dormant) sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.
2.1.7.3 Kategori Pemberian Obat Anti Tuberculosis
2.1.7.3.1 Kategori
1 (211RZE/4113R3)
Tahap intensif
terdiri dari isoniasid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z) dan Etambutol(E).
Obat-obatan tersebut diberikan setiap hari selama 2 bulan (2 HRZE), kemudian
teruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari Isoniasid (H) dan Rifampisin
(R), diberikan tiga kali dalam seminggu selama 4 bulan (4H3R3).
Obat ini diberikan untuk :
- Penderita baru
TBC paru BTA positif
- Penderita TBC paru BTA negatif, rontgen
positif.
-
Penderita TBC ekstra paru berat.
2.1.7.3.2 Kategori
2 (2HRZES/HRZE/5H3RE3)
Tahap intensif
diberikan selama 3 (tiga) bulan, yang terdiri dari 2 bulan dengan isoniasid
(H), Rifampisn, Pirazinamid (Z), Etambutol (E) setiap hari. Setelah itu diteruskan dengan tahap
lanjutan selama 5 bulan dengan Isoniasid (H),Rifampisin (R), Etambutol (E) yang
diberikan 3 kali dalam seminggu.
Perlu
diperhatikan bahwa suntikan streptomisin diberikan setelah penderita selesai
menelan obat.
Obat ini diberikan untuk penderita kambuh, penderita gagal, penderita dengan
pengobatan setelah lalai.
TahapPengobatan |
LamanyaPengobatan |
Dosis Per Hari / Kali
|
Jumlah hari/kali
menelan
obat
|
|||
Tablet Insoniasid
@ 300 mg
|
Kaplet Rifampisin
@,
450 mg
|
Tablet Pirasinamid
@ 500 mg
|
Tablet Etambutol
@ 250 mg
|
|||
Tahap intensif (dosis harian)
|
2 bulan
|
1
|
1
|
3
|
3
|
60
|
Tahap lanjutan (dosis 3 x seminggu)
|
4 bulan
|
2
|
1
|
-
|
-
|
54
|
Tabel
1 : Panduan OAT Kategori 1
TahapPengobatan |
LamanyaPengobatan |
Tablet
Insoniasid
@ 300 mg
|
Kaplet
Rifampisin
@ 450 mg
|
Tablet
Pirasinamid
@ 500 mg
|
Etambutol |
Streptomisin injeksi |
Jumlah
hari/kali menelan obat
|
|
Tablet
@ 250 mg
|
Tablet
@500 mg
|
|||||||
Tahap intensif (dosis
harian)
|
2 bulan
1 bulan
|
1
1
|
3
|
3
3
|
3
|
3
_
|
0.75 gr
-
|
60
30
|
Tahap lanjutan
(dosis 3 x
seminggu)
|
5 bulan
|
2
|
1
|
-
|
1
|
2
|
-
|
66
|
Tabel 2 : Panduan OAT Kategori 2
Tabel 3 : Panduan OAT
Kategori 3
Tahap
Pengobatan
|
Lamanya
Pengobatan |
Tablet
Insoniasid
@ 300 mg
|
Kaplet
Rifampisin
@ 450 mg
|
Tablet
Pirasinamid
@ 500 mg
|
Jumlah
hari/
kali
menelan
obat
|
Tahap intensif
(dosis harian)
|
2 bulan
|
1
|
1
|
3
|
60
|
Tahap lanjutan
(dosis 3 x seminggu)
|
4 bulan
|
2
|
1
|
-
|
54
|
Tabel 4 : Panduan OAT Sisipan
Tahap
Pengobatan
|
Lamanya
Pengobatan
|
Tablet
Insoniasid
@ 300 mg
|
Kaplet
Rifampisin
@ 450 mg
|
Tablet
Pirasinamid
@ 500 mg
|
Tablet
etambutol
@ 250 mg
|
Jumlah
hari/
kali
menelan
obat
|
Tahap intensif
(dosis harian)
|
2 bulan
|
1
|
1
|
3
|
3
|
30
|
2.1.7.3.3 Kategori
3 (2HRZ/4H3R3)
Tahap intensif terdiri dari Isoniasid
(H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z) diberikan setiap hari selama 2 bulan (2HRZ) diteruskan dengan tahap lanjutan terdiri
dari Isoniasid (H), Rifampisin (R) selama 4 bulan diberikan 3 kali
seminggu (4H3R3).
Obat ini diberikan untuk :
-
Penderita
baru BTA negatif dan roentgen positif
sakit ringan
-
Penderita
ekstra paru ringan, yaitu TBC kelenjar limfe (limfadenitis),
pleuritis aksudativa unilateral, TBC kulit, TBC tulang (kecuali tulang
belakang) sendi dan kelenjar adrenal.
2.1.7.3.4 OAT Sisipan (HRZE)
Bila
pada akhir tahap intensif pengobatan penderita baru BTA positif dengan kategori 1 atau penderita BTA positif
pengobatan ulang dengan kategori 2,
hasil pemeriksaan dahak masih BTA positif, diberikan obat sisipan
Isoniasid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z), Etambutol (E) setiap hari
selama 1 bulan.
2.2 Manajemen Keperawatan
2.2.1 Pengkajian
Pengkajian adalah
pengumpulan data yang cermat tentang pasien,
keluarga dan kelompok melalui wawancara, observasi,
dan pemeriksaan (Carpenito, 1999:24)
Menurut Doengoes
1999, pada pengkajian pada pasien tuberculosis paru akan di temukan data-data
sebagai berikut :
2.2.1.1 Aktivitas / istirahat
Gejala : Badan lemah, sesak nafas, Kesulitan tidur pada malam hari, demam dan menggigil, berkeringat pada malam hari.
Tanda : Takikardia, takipnea /
dipsnea pada kerja kelelahan otot,
nyeri dan sesak.
2.2.1.2
Integritas ego
Gejala : Adanya faktor stress, Masalah keuangan, Perasaan tak berdaya / tak ada harapan.
Tanda : Menyangkal, ansietas, ketakutan, dan mudah tersinggung.
2.2.1.3 Makanan / cairan
Tanda : Turgor kulit kering / kulit bersisik, dan kehilangan otot.
2.2.1.4 Nyeri / kenyaman
Gejala : Nyeri dada meningkat karena batuk berulang
Tanda : Berhati-hati pada area yang sakit.
Perilaku
distraksi, gelisah
2.2.1.5 Pernapasan
Gejala : Batuk produktif atau tak produktif. Sesak nafas.
Tanda : Peningkatan frekuensi pernapasan (penyakit luas atau fobrosis parenkim paru dan pleura), Perkusi pekak dan penurunan fremitus (cairan pleural) atau penebalan pleural.
2.2.1.6 Keamanan
Gejala : Adanya kondisi penekanan imun, contoh AIDS, kanker. Tes HIV positif
Tanda : Demam rendah atau sakit panas akut.
2.2.1.7 Interaksi sosial
Gejala : Perasaan isolasi atau penolakan karena penyakit menular. Perubahan pola biasa dalam tanggung jawab/ perubahan kapasitas fisik untuk melaksanakan peran.
2.2.1.8 Penyuluhan atau pembelajaran
Gejala : Riwayat keluarga tuberculosis. Status
kesehatan buruk. Gagal untuk membaik atau kambuhnya tuberculosis. Tidak berpartisipasi dalam terapi.
Rencana
Pemulangan : Memerlukan bantuan
dengan /
gangguan dalam terapi obat, dan
bantuan perawatan diri, serta pemeliharaan atau perawatan rumah.
2.2.2 Diagnosa keperawatan
Diagnosa yang dapat muncul menurut (Doenges, 1999) :
2.2.2.1 Resiko
tinggi penyebaran infeksi berhubungan dengan kerusakan jaringan atau infeksi.
2.2.2.2 Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan sekret yang
kental atau berlebih.
2.2.2.3 Resiko tinggi terhadap kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan penurunan
permukaan efektif paru.
2.2.2.4 Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan anoreksia.
2.2.2.5 Kurang pengetahuan mengenai kondisi, aturan
tindakan dan pencegahan berhubungan dengan kurang informasi.
2.2.3 Intervensi, Rasionalisasi dan Evaluasi
2.2.3.1 Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan
kerusakan jaringan atau infeksi.
2.2.3.1.1 Intervensi dan
rasionalisasi
1. Kaji patologi penyakit dan potensial penyebaran infeksi melalui droplet udara selama batuk, bersin, meludah, bicara, bicara,
tertawa, menyanyi.
Rasional : Membantu pasien menyadari atau
menerima perlunya
mematuhi program pengobatan untuk
mencegah pengaktifan berulang atau komplikasi.
2. Anjurkan
pasien untuk batuk dan bersin dan mengeluarkan pada tisu dan hindari meludah.
Rasional: Perilaku
yang diperlukan untuk mencegah
penyebaran infeksi.
3. Kaji
tindakan kontrol sementara, contoh masker atau isolasi pemapasan.
Rasional:
Dapat menurunkan rasa, terisolasi pasien dan
membuang stigma sosial berhubungan dengan penyakit menular.
4. Awasi
suhu sesuai indikasi.
Rasional : Reaksi demam indikator adanya infeksi lanjut.
5. Tekankan
pentingnya untuk tidak menghentikan terapi obat.
Rasional : Kombinasi agen anti infeksi digunakan 2/1 obat primer tambah I obat sekunder.
2.2.3.1.2 Evaluasi
:
1. Mengidentifikasi
intervensi untuk mencegah atau menurunkan resiko penyebaran infeksi.
2. Menunjukkan teknik atau melakukan perubahan pola hidup untuk meningkatkan Iingkungan yang aman.
2.2.3.2 Bersihkan jalan napas tak efektif berhubungan dengan sekret yang kental atau berlebihan.
2.2.3.2.1 Intervensi dan
rasionalisasi
1. Kaji fungsi
pernapasan, bunyi napas, kecepatan, irama dan kedalaman dan penggunaan otot
aksesori.
Rasional
: Penurunan bunyi napas dapat menunjukkan atelektasis.
2. Catat kemampuan
untuk mengeluarkan dahak atau batuk efektif dan catat karakter, jumlah sputum,
adanya hemoptisis.
Rasional :
Pengeluaran sulit bila sekret kental, sputum berdarah kental atau cerah
diakibatkan kerusakan (kavitasi) atau lulcaan bronchial.
3. Atur posisi semi atau fowler tinggi.
Rasional
: Memaksimalkan ekspansi paru.
4. Ajarkan pasien
untuk batuk efektif dan nafas dalam.
Rasional :
Ventilasi maksimal membuka area atelektasis dan meningkatkan gerakan ke dalam
jalan napas besar untuk dikeluarkan.
5. Bersihkan sekret dari mulut dan
trakea, pengisapan sesuai keperluan
Rasional
: Mencegah obstruksi atau aspirasi, pengisapan dapat diperlukan apabila pasien
tidak mampu mengeluarkan sekret.
6.
Pertahankan masukan cairan sedikitnya 2500 ml/hari
kecuali kontra indikasi.
Rasional :
Pemasukan tinggi cairan membantu untuk mengencerkan
sekret dan mudah dikeluarkan.
7. Kolaborasi
Berikan obat-obatan sesuai
indikasi.
2.2.3.2.2
Evaluasi
1. Mempertahankan jalan nafas pasien.
2. Mengeluarkan sekret tanpa bantuan.
3. Berpartisipasi dalam
program pengobatan.
2.2.3.3 Resiko tinggi terhadap
kerusakan pertukaran gas, berhubungan dengan
penurunan permukaan efektif paru.
2.2.3.3.1
Intervensi dan rasionalisasi
1. Kaji
dispnea, takipnea, tak normal atau menurunnya bunyi
napas, peningkatan upaya pernapasan,terbatasnya
ekspansi, dinding dada dan kelemahan.
Rasional:
Tuberculosis paru menyebabkan efek
luas pada paru dari bagian kecil bronco
pneumonia sampai inflamasi difus, nekrosis, efusi pleural dan fibrosis luas.
2. Catat
sianosis atau perubahan warna kulit, termasuk membran mukosa dan kuku.
Rasional : Akumulasi
sekret atau pengaruh jalan napas dapat mengganggu
oksigenasi organ vital dan jaringan.
3. Tingkatkan
tirah baring atau batasi aktivitas dan bantu aktivitas perawatan diri sesuai
keperluan.
Rasional : Menurunkan konsumsi oksigen
atau kebutuhan selama periode penurunan pernapasan dapat menurunkan beratnya
gejala.
4. Kolaborasi
dalam pemberian oksigen tambahan yang sesuai.
Rasional
: Alat dalam memperbaiki hipoksemia yang dapat terjadi sekunder terhadap
penurunan ventilasi atau permukaan alveolar paru.
2.2.3.3.2
Evaluasi
1. Menunjukkan tak adanya atau mcngalami
penurunan dispnea.
2. Menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigen jaringan
adekuat.
3. Bebas dari gejala distress pernapasan.
2.2.3.4 Nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh berhubungan dengan
anoreksia.
2.2.3.4.1
Intervensi dan rasionalisasi
1. Catat status nutrisi pasien pada penerimaan, catat turgor
kulit, berat badan dan derajat kekurangan berat badan.
Rasional : Berguna dalam mendefinisikan
derajat atau luasnya masalah dan pilihan intervensi yang tepat.
2. Awasi masukan atau pengeluaran dan berat badan secara
periodik.
Rasional : Berguna dalam mengatur
keefektifan nutrisi dan dukungan cairan.
3.
Dorong dan berikan periode
istirahat sering. Rasional : Membantu menghemat energi khususnya bila
kebutuhan metabolik meningkat saat demam.
4. Dorong
makan sedikit dan sering dengan makanan tinggi protein dan karbohidrat.
Rasional : Memaksimalkan masukan
nutrisi tanpa kelemahan yang tidak perlu atau kebutuhan energi dari makan-makanan
banyak dan menurunkan
iritasi gaster.
5.
Kolaborasi
ke ahli diet untuk menentukan komposisi diet.
Rasional
: Memberikan bantuan dalam perencanaan diet dengan nutrisi
adekuat untuk kebutuhan metabolik dan diet.
2.2.3.4.2
Evaluasi
1. Menunjukkan
berat badan meningkat.
2. Meningkatkan atau mempertahankan berat badan yang ideal.
2.2.3.5 Kurang pengetahuan mengenai kondisi aturan tindakan dan pencegahan berhubungan dengan kurang
informasi.
2.2.3.5.1 Intervensi dan rasionalisasi
1. Kaji kemampuan pasien untuk belajar,
contoh tingkat takut, masalah,
kelemahan, tingkat partisipasi, lingkungan terbaik dimana pasien dapat
belajar, seberapa banyak isi, media terbaik, siapa yang terlibat.
Rasional
: Belajar tergantung pada emosi dan kesiapan fisik dan ditingkatkan pada
tahapan individu.
2. Tekankan pentingnya mempertahankan protein tinggi dan
diet karbohidrat dan pemasukan cairan adekuat.
Rasional : Memenuhi kebutuhan metabolik mernbantu meminimalkan
kelemahan dan meningkatkan penyembuhan.
3.
Berikan instruksi dan informasi
tertulis khusus pada pasien untuk rujukan contoh jadwal obat.
Rasional : Informasi tertulis menurunkan hambatan pasien untuk
mengingat sejumlah besar informasi.
4. Jelaskan dosis obat, frekuensi pemberian, kerja yang diharapkan, dan
alasan pengobatan lama.
Rasional : Meningkatkan kerja lama dalam program pengobatan dan
mencegah penghentian obat sesuai perbaikan kondisi pasien.
5. Dorong pasien dan orang terdekat untuk menyatakan takut. Jawab
pertanyaan secara nyata.
Rasional : Memberikan kesempatan untuk memperbaiki kesalahan konsepsi atau
peningkatan ansietas.
2.2.3.5.2 Evaluasi
1. Menyatakan pemahaman proses penyakit atau prognosis dan kebutuhan
pengobatan.
2.
Melakukan pola hidup sehat untuk
memperbaiki kesehatan umum.
|
Alsagaff, Hood. 2005. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru. Airlangga University Press :
Surabaya.
Brooker, Christine.
2001. Kamus Saku Keperawatan. EGC
: Jakarta.
Crofton, John. 2002. Pedoman
penanggulangan Tuberkulosis, Widya Medika : Jakarta.
Departeman Kesehatan. Republik Indonesia. 2002. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis.
Jakarta.
Doenges, Marilyn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3. EGC : Jakarta.
Medical Record RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya
tahun 2007.
Profil Kesehatan Kalimantan Tengah 2006.
Smeltzer, Suzanne C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah dari Brunner & Suddarth,
Edisi 8. EGC : Jakarta.
Smeltzer, Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah dari Brunner & Suddarth,
Edisi 8. EGC : Jakarta.
Somantri,
Irman. 2008. Keperawatan Medical Bedah; Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan
Gangguan Sistem Pernapasan. Salemba Medika : Jakarta
0 komentar:
Posting Komentar